Tepatnya pada
tanggal 3
November 1999
Gubernur
Sulawesi
Tengah
(Brigjen Purn. H.B. Palidju) atas nama Menteri Dalam Negeri meresmikan
berdirinya Kabupaten Banggai Kepulauan yang sebelumnya masih bernaung
bergabung dalam Kabupaten Banggai. Kabupaten Banggai Kepulauan
menjadi satu kabupaten otonom berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten
Banggai Kepulauan.
Secara
historis wilayah Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan mulanya adalah bagian
dari Kerajaan Banggai yang sudah dikenal sejak abad 13 Masehi sebagaimana
termuat dalam buku Negara Kertagama yang ditulis oleh Pujangga Besar Empu
Prapanca pada tahun Saka 1478 atau 1365 Masehi. Kerajaan Banggai, awalnya
hanya meliputi wilayah Banggai Kepulauan, namun kemudian oleh Adi Cokro
yang bergelar Mumbu Doi Jawa disatukan dengan Wilayah Banggai Darat. Adik
Cokro yang merupakan panglima perang dari Kerajaan Ternate yang menikah
dengan seorang Putri Portugis kemudian melahirkan putra bernama Mandapar.
Mandapar inilah yang dikenal sebagai Raja Banggai Pertama yang dilantik
pada tahun 1600 oleh Sultan Said Berkad Syam dari Kerajaan Ternate. Raja
Mandapar yang bergelar Mumbu Doi Godong ini memimpin Banggai sampai tahun
1625
Adapun sisa peninggalan Kerajaan Banggai yang dibangun pada abad ke XVI yang masih dapat ditemui hingga saat ini yaitu Keraton Kerajaan Banggai yang ada di Kota Banggai. Pada masa pemerintahan Raja Syukuran Amir, ibukota Kerajaan Banggai yang semula berada di Banggai Kepulauan dipindahkan ke Banggai Darat (Luwuk). Untuk penyelenggaraan pemerintahan diwilayah Banggai Laut ditempatkan pejabat yang disebut Bun Kaken sedang untuk Banggai Darat disebut Ken Kariken. Wilayah Banggai Darat dan Banggai Laut kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi Tengah menjadi Satu Kabupaten Otonom yang dikenal sebagai Kabupaten Banggai dengan ibukota Luwuk.
Adapun sisa peninggalan Kerajaan Banggai yang dibangun pada abad ke XVI yang masih dapat ditemui hingga saat ini yaitu Keraton Kerajaan Banggai yang ada di Kota Banggai. Pada masa pemerintahan Raja Syukuran Amir, ibukota Kerajaan Banggai yang semula berada di Banggai Kepulauan dipindahkan ke Banggai Darat (Luwuk). Untuk penyelenggaraan pemerintahan diwilayah Banggai Laut ditempatkan pejabat yang disebut Bun Kaken sedang untuk Banggai Darat disebut Ken Kariken. Wilayah Banggai Darat dan Banggai Laut kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi Tengah menjadi Satu Kabupaten Otonom yang dikenal sebagai Kabupaten Banggai dengan ibukota Luwuk.
Kabupaten
Banggai merupakan salah satu kabupaten di
Sulawesi
tengah yang terletak dibagian pantai timur Pulau Sulawesi. Kabupaten
Banggai dengan ibukota Luwuk secara geografis terletak pada posisi 0°
30'-02° 20' LS dan 122° 10' - 124° 20' BT. dengan batas wilayah sebelah
utara Teluk Tomini, sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Poso,
sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Tolo dan sebelah timur berbatasan
dengan laut Banda.
Dari
ibukota Propinsi Palu menuju ibukota Kabupaten Banggai Luwuk dapat
ditempuh melalui jalan darat maupun udara. Jalan darat dapat memakai
sarana perhubungan kendaraan umum bus-bus kecil, atau dengan kendaraan
carteran. Palu - Luwuk dengan jarak sekitar 350 km. Transportasi udara
dari ibukota Propinsi Palu dilayani oleh pesawat kecil (Twin
otter/
Cassa)
dengan waktu tempuh 1.5 jam. Penerbangan Palu - Luwuk secara regular
setiap hari sekali. Dari Luwuk ke Pulau Peleng dilayani oleh ferry secara
reguler sekali setiap hari. Sedangkan Luwuk- Pulau Banggai dilayani oleh
perahu motor kayu yang jauh lebih kecil. Pelayaran Luwuk - Banggai
dilakukan secara reguler dan singgah di beberapa ibukota kecarnatan dengan
waktu tempuh antara 8 - 12 jam. Untuk mencapai pulau-pulau yang ada
disekitar Pulau Peleng dan Pulau Banggai jalan satu-satunya adalah
menggunakan perahu carteran.
Kabupaten
Banggai menjadi salah satu dari 25 kabupaten yang menerima penghargaan
Parasamya Purnakarya Nugraha dari Pemerintah
Indonesia
27 tahun lalu. Saat itu Kabupaten Banggai dianggap berprestasi karena
mampu menyumbang 50 persen Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) bagi Provinsi
Sulawesi Tengah.Iini. Kebanggaan masyarakat di daerah yang hanya
berkepadatan penduduk 28 jiwa tiap kilometer perseginya ini bertambah
karena kabupaten Banggai mampu menjadi penghasil beras nomor dua
setelah Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah.
Monsu'ani
Tano
ternyata menjadi cara yang ampuh dalam memotivasi masyarakat Banggai untuk
membangun daerahnya sendiri. Gemar menanam, makna dari istilah tersebut,
telah menjadi gerakan yang mendapat tempat di hati masyarakat Banggai.
Buktinya, dalam
lima
tahun ke belakang, pertanian telah menjadi pemasok terbesar kegiatan
ekonomi daerah ini. Tahun
2000 misalnya, 54,4 persen (Rp 465,4 milyar) kegiatan ekonomi berasal dari
sektor pertanian. Dan produksi beras menjadi primadona. Dengan produktivitas rata-rata 3,0 ton per hektar, Kabupaten Banggai menghasilkan padi sebanyak 69.693 ton tahun 2000. Dibandingkan tahun sebelumnya, angka ini menurun drastis hingga 29 persen. Sementara untuk tahun 2001, kabupaten ini juga mengalami kesulitan untuk mempertahankan produksi. Bulan Juli 2001 terjadi banjir akibat gelombang tsunami yang merendam dan merusak 43,5 hektar sawah di Kecamatan Batui. Banjir ini juga melanda Kecamatan Toili yang selama ini menjadi sentra penghasil beras Kabupaten Banggai.
Di samping tanaman bahan pangan, hasil perkebunan rakyat seperti kelapa, kakao, dan jambu mete misalnya, turut memberikan andil yang berarti bagi roda perekonomian Banggai. Di antara delapan kecamatan yang ada, Kecamatan Bunta menjadi sentra tanaman kelapa dan kakao. Sementara itu, jambu mete dan sebagian kakao dihasilkan oleh Kecamatan Batui. Sumbangan kelapa sendiri tidak kecil. Nilainya mencapai 9,1 juta dollar AS melalui ekspor 13.222 ton minyak kelapa. Ini belum termasuk ekspor bungkil kopra sebanyak 5.700 ton dan kopra 700 ton.
Hasil hutan pun tak kalah perannya bagi pertumbuhan ekonomi Banggai. Setidaknya berdasarkan angka hingga Agustus 2001 dari Iuran Hasil Hutan (IHH) diperoleh Rp 1,5 milyar dan dari Dana Reboisasi 453.915 dollar AS. Pemasukan itu berasal dari hasil kayu rimba logs dan selebihnya dari rotan, damar, kulit japari dan kemiri.
Saat ini Pertaminta terus-menerus berupaya menggali cadangan gas yang tersimpan di bumi Banggai. Tahun 2003 lalu Pertamina menemukan gas dengan kapasitas 34 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) dan 160 BCPD (barrel kondensat per hari) dari hasil pemboran sumur Donggi (DNG #1) di desa Kamiwangi, Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah.
Sumur yang mulai ditajak tanggal 14 Agustus 2001 dan berhasil diselesaikan pada tanggal 4 September 2001 dengan kedalaman akhir 2502 MBLB (meter bawah lantai bor) diantaranya telah dilakukan uji kandung lapisan (UKL). Interval kedalaman 1705 - 1710 M dan menghasilkan 14 MMSCFGD + 50 BCPD. Sedang interval kedalaman 1620 - 1630 M menghasilkan 20 MMSCFGD + 110 BCPD. Kondensat yang dihasikan dari kedua lapisan tersebut mempunyai derajat API sebesar 54 derajat. Selanjutnya untuk membuktikan potensi cadangan gas di komplek Donggi maupun Blok Matindok Sulawesi Tengah akan dilakukan studi geologi dan geofisika terpadu yang melibatkan ahli eksplorasi, ahli reservoir dan ahli gas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar